BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 30 Juni 2009

HUKUM BERMUSIK DAN BERNYANYI

Suatu masalah yang menimpa mayoritas umat manusia termasuk umat Islam
adalah masalah nyanyian dan musik. Terlepas dari hukum nyanyian dan musik
tersebut, mayoritas umat manusia dan juga umat Islam menyukai sesuatu
yang indah dan merdu didengar. Secara fitrah manusia menyenangi suara
gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung dan suara
binatang-binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu dan suara
alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang
menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT. menghalalkan
bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang
merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.
Disisi lain Allah SWT. telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah
disebutkan dalam Al-Qur`an maupun hadits Rasulullah saw. Allah SWT.
menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah
jelas. Rasulullah saw. bersabda:

`Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara
keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang
menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa
yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram` (HR Bukhari dan
Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT. tidak
membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur
dalam Syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di
siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada Syari`ah
Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.

Bagaimana Islam berbicara tentang nyanyian dan musik ? Istilah yang biasa
dipakai dalam madzhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk
dalam ruang lingkup maa ta`ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang
banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan
dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau
haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang shahih (benar) dan
sharih (jelas). Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber
landasan Islam saja yaitu Al- Qur`an, Sunnah yang shahih dan Ijma`. Tidak
terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat
atau budaya suatu masyarakat.

Sebelum membahas pendapat para ulama tentang dua masalah tersebut dan
pembahasan dalilnya. Kita perlu mendudukkan dua masalah tersebut.
Nyanyian dan musik dalam Fiqh Islam termasuk pada kategori muamalah atau
urusan dunia dan bukan ibadah. Sehingga terikat dengan kaidah:

Hukum dasar pada sesuatu (muamalah) adalah halal (mubah).

Hal ini sesuai firman Allah SWT. :

`Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu` (QS
Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk
nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang shahih dan
sharih. Rasulullah saw. bersabda:

`Sesungguhnya Allah `Aza wa Jalla telah menetapkan kewajiban, janganlah
engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan
sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat
untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya) `
(HR Ad-Daruqutni).

`Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram
adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah
diamkan maka itu adalah sesuatu yang dima`afkan` (HR at-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan al-Hakim )

Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang
diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi
syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara
umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam. Ulama juga sepakat
membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja dan tidak kotor,
jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing dan
tanpa alat musik. Adapaun selain itu para ulama berbeda pendapat, sbb:

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi
haram dalam kondisi berikut:

Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.

Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta
birahi pada wanita atau sebaliknya.
Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan
shalat atau menunda-nundanya dll.
Madzhab Maliki, asy-Syafi`i dan sebagian Hambali berpendapat bahwa
mendengar nyanyian adalah makruh. Jika mendengarnya dari wanita asing
maka semakin makruh. Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak
muru`ah. Adapun menurut asy-Syafi`i karena mengandung lahwu. Dan Ahmad
mengomentari dengan ungkapannya:` Saya tidak menyukai nyanyian karena
melahirkan kemunafikan dalam hati`.

Adapun ulama yang menghalalkan nyanyian, diantaranya: Abdullah bin
Ja`far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu`bah, Usamah bin Zaid,
Umran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar
Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dll. Sehingga secara umum
dapat disimpulkan bahwa para ulama menghalalkan bagi umat Islam
mendengarkan nyanyian yang baik-baik jika terbebas dari segala macam yang
diharamkan sebagaimana disebutkan diatas.

Sedangkan hukum yang terkait dengan menggunakan alat musik dan
mendengarkannya, para ulama juga berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengharamkan alat musik. Sesuai dengan beberapa hadits diantaranya, sbb:

`Sungguh akan ada di antara umatku, kaum yang menghalalkan zina, sutera,
khamr dan alat-alat yang melalaikan`. (HR Bukhari)
`Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia
menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari
jalan tersebut. Ia berkata:`Wahai Nafi` apakah engkau dengar?`. Saya
menjawab:`Ya`. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata
:`Tidak`. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan
kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah saw.
mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini` (HR Ahmad, Abu
Dawud dan Ibnu Majah).
`Dari Umar bin Hushain, bahwa Rasulullah saw. berkata tentang umat ini:`
Gerhana, gempa dan fitnah. Berkata seseorang dari kaum muslimin:`Wahai
Rasulullah kapan itu terjadi?` Rasul menjawab:` Jika biduanita, musik dan
minuman keras dominan` (HR At-Tirmidzi).
Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadits-hadits tentang
haramnya nyanyian dan musik. Hadits pertama diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al Asy`ari ra. Hadits ini
walaupun terdapat dalam hadits shahih Bukhori, tetapi para ulama
memperselisihkannya. Banyak diantara mereka yang mengatakan bahwa hadits
ini adalah mualaq (sanadnya terputus), diantaranya dikatakan oleh Ibnu
Hazm. Disamping itu diantara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad
hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa
hadits ini shohih, karena terdapat dalam hadits shohih Bukhori, tetapi
nash dalam hadits ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat
tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.

Hadits kedua dikatakan oleh Abu Dawud sebagai hadits mungkar. Kalaupun
hadits ini shohih, maka Rasulullah saw. tidak jelas mengharamkannya.
Bahkan Rasulullah saw mendengarkannya sebagaimana juga yang dilakukan
oleh Ibnu Umar. Sedangkan hadits ketiga adalah hadits ghorib. Dan
hadits-hadits lain yang terkait dengan hukum musik, jika diteliti
ternyata tidak ada yang shohih.

Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana diantaranya diungkapkan
oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, Nailul Authar adalah sbb: Ulama
Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jama`ah ahlu Sufi
memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola`. Juga
diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi`i dalam kitabnya bahwa
Abdullah bin Ja`far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan
membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri
mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul
Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada
Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan
Asy-Sya`bi.

Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang
menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin; bahwa Abdullah bin Zubair memiliki
budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah kerumahnya ternyata
disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata:` Apa ini wahai sahabat
Rasulullah saw. kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar
merenungi kemudian berkata:` Ini mizan Syami( alat musik) dari Syam?`.
Berkata Ibnu Zubair:` Dengan ini akal seseorang bisa seimbang`. Dan
diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas
membolehkan nyanyian dengan alat musik.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika
diteliti dengan cermat, maka ulama muta`akhirin yang mengharamkan alat
musik karena mereka mengambil sikap waro`(hati-hati). Mereka melihat
kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan
sahabat dan tabi`in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang
tidak ada dalil baik dari Al-Qur`an maupun hadits yang jelas
mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik
harus memperhatikan faktor-faktor berikut:



1. Lirik Lagu yang Dilantunkan.

Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan
pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik
menurut syara`, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatanya buruk menurut
syara`, maka dilarang.



2. Alat Musik yang Digunakan.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku
dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali
ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang
digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya
dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur
ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang
diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama
lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika
melalaikan.



3. Cara Penampilan.

Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang
syara` seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.



4. Akibat yang Ditimbulkan.

Walaupun sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal
yang diharamkan seperti melalaikan shalat, munculnya ulah penonton yang
tidak Islami sebagi respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut
menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi` (menutup
pintu kemaksiatan) .



5. Aspek Tasyabuh atau Keserupaan Dengan Orang Kafir.

Perangkat khusus, cara penyajian dan model khusus yang telah menjadi ciri
kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam,
harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum
yang tidak dibenarkan. Rasulullah saw. bersabda:

`Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka` (HR Ahmad dan
Abu Dawud)



6. Orang yang menyanyikan.

Haram bagi kaum muslimin yang sengaja mendengarkan nyanyian dari wanita
yang bukan muhrimnya. Sebagaimana firman Allah SWT.:

`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik`(QS Al-Ahzaab 32)

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga
bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.
Amiin.

0 komentar: